Kepada pengasuh rubrik konsultasi yang kami hormati, ada pertanyaan
yang sampai saat ini masih mengganjal di benak saya. Belakangan ini
tengah marak di TV atau pun media yang mengungkap berbagai kisah dan
cerita yang dikemas menarik. Kisah tersebut berkisar antara lain
kematian seorang yang bermaksiat, akibat buruk orang yang berjudi dan
berbagai hal aneh lainnya terkait dengan jenazah yang sudah meninggal
kemudian dihubungkan dengan perilakunya semasa hidup. Pertanyaannya,
apakah kita boleh menceritakan kejadian-kejadian tersebut untuk diambil
sebagai bahan pelajaran bagi yang masih hidup?
Jawab:
Cerita-cerita semacam ini memiliki beberapa sisi yang patut dicermati,
1. Menggunjing orang yang sudah mati
Syekh Musthofa Al-Adawi mengatakan, “Memang orang yang membicarakan
aib orang yang sudah mati termasuk menggunjing mereka. Sesungguhnya
ikatan iman tidaklah terputus dengan sebab kematian. Oleh karena itu,
dalil-dalil larangan ghibah juga berlaku untuk orang-orang yang sudah
meninggal. Allah berfirman (yang artinya), “Janganlah sebagian
kalian menggunjing sebagian yang lain. Apakah salah satu diantara kalian
mau memakan daging saudaranya yang sudah menjadi bangkai. Tentu kalian
tidak akan menyukainya.” (QS Al-Hujurat: 12)
Tentang ghibah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Engkau menyebut-nyebut saudaramu dengan sesuatu yang tidak dia sukai.”
(HR Muslim no 2518) Bahkan terdapat dalil-dalil khusus yang melarang
menggunjing orang yang sudah mati. Diriwayatkan oleh Imam Nasa’I dengan
sanad yang shahih dari Aisyah, beliau mengatakan, “Ada seorang yang
menyebut-nyebut aib orang yang sudah mati di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Janganlah kalian menyebut-nyebut orang yang sudah meninggal di antara kalian kecuali dengan kebaikan.”
Diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dengan sanad yang shahih dari Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik
kalian adalah yang paling baik dengan keluarganya. Aku adalah orang
yang paling baik terhadap keluargaku. Jika shahabat kalian meninggal
dunia maka biarkanlah dia (jangan sebut-sebut kejelekannya).”
Kecuali jika orang yang sudah meninggal tersebut adalah pemimpin
kesesatan dan dikhawatirkan ada orang yang mengikutinya. Dalam kondisi
demikian diperbolehkan menjelaskan kejelekan-kejelekannya bahkan bisa
jadi dianjurkan jika dengan maksud mengingatkan umat jangan sampai
mengikuti orang tersebut.
Tentang kaum Firaun Allah berfirman, yang artinya, “Dan Kami ikutkanlah la’nat kepada mereka di dunia ini; dan pada hari kiamat mereka termasuk orang-orang yang dijauhkan.” (QS al-Qashash 42)
Demikian pula Allah berfirman, yang artinya, “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.” (QS Al-Lahab 1)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Aku
melihat Amar bin Luhay menyeret-nyeret ususnya sendiri di dalam neraka
karena dia adalah orang yang pertamakali menetapkan adanya Saibah
(sejenis unta yang diharamkan masyarakat jahiliyyah).” (HR Bukhari
no 2424 dan Muslim no 2856 dari Abu Hurairah)(Lihat Tashil Lita’wil
At-Tanzil tafsir surat Al-Hujurat hal 159-161)
2. Dalam kisah-kisah ini terdapat tindakan menghubungkan
sesuatu yang tidak berhubungan tanpa dalil bahkan termasuk dalam
tindakan menebak-nebak hal yang ghaib tanpa dasar wahyu.
Semisal ada seorang yang ketika hidup suka berbuat maksiat berupa
tidak shalat, suka berjudi, menipu dan menyakiti ibu, ketika meninggal
mayat orang tersebut busuk. Peristiwa ini lantas dikomentari inilah
adzab Allah untuk orang yang durhaka kepada ibunya. Dari manakah
pernyataan memastikan seperti ini? Kenapa tidak dikatakan itu sebagai
adzab karena selama hidup tidak shalat, atau karena suka berjudi.
Menghubungkan hal-hal ini tanpa dalil dari wahyu termasuk menebak-nebak
hal yang ghaib dan berkata-kata atas nama Allah tanpa ilmu, suatu dosa
yang Allah sejajarkan dengan kesyirikan. Allah berfirman, yang artinya, “Dan
kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan
dalil tentangnya, dan kalian berkata-kata atas nama Allah tanpa ilmu.” (QS Al-A’raf: 33)
Dari Amr bin Dinar sesungguhnya Tamim Ad-Dari meminta ijin kepada Umar
bin Khatthab untuk bercerita di hadapan banyak orang. Namun khalifah
Umar tidak memberikan ijin untuknya. Setelah itu Tamim Ad-dari meminta
ijin lagi, khalifah Umar tetap bersikukuh tidak memberikan ijin,
akhirnya Tamim Ad-Dari meminta ijin untuk yang ketiga kalinya. Dengan
tegas khalifah Umar mengatakan, “Jika engkau mau demikian?” Beliau
berisyarat dengan tangannya yang bermakna terpenggalnya kepala.” (Majma’
Az-Zawaid 1/189-190. Riwayat ini dikomentari oleh Al-Haitsami para
perawinya adalah para perawi yang dipakai dalam kitab shahih Bukhari
atau shahih Muslim)
Mengomentari kisah di atas al-Hafidz al-Iraqi mengatakan,
“Renungkanlah bagaimana Umar tidak memberi ijin membacakan cerita kepada
salah seorang shahabat padahal seluruh shahabat adalah orang yang bisa
dipercaya dan baik agamanya. Siapakah diantara tabi’in dan orang-orang
sesudah mereka yang selevel dengan Tamim Ad-Dari?”
Syekh Jamal bin Furaihan berkomentar, “Siapakah yang semisal dengan
Tamim Ad-Dari di jaman kita ini padahal shahabat Tamim Ad-Dari pasti
hanya menceritakan kisah-kisah yang benar. Bagaimana seandainya para
ulama dahulu mendengar kisah yang dituturkan oleh para tukang kisah di
jaman ini. Semisal kisah seekor ular yang mengobrak-abrik gundukan tanah
di pekuburan sehingga debu menutupi pandangan orang-orang yang ada
ketika itu. Ular tersebut lantas turun bersama jenazah masuk ke dalam
liang lahat. Atau cerita yang disampaikan oleh sebagian orang tentang
jenazah yang bila diletakkan di liang lahat wajahnya tidak mau
dihadapkan ke arah kiblat. Atau semisal orang yang mengatakan, “Pada
saat aku memandikannya tiba-tiba wajahnya berubah menjadi hitam dan
cerita-cerita semisalnya.”
Mereka mengkait-kaitkan berbagai kejadian di atas dengan maksiat yang
dilakukan oleh orang-orang tersebut, menurut anggapan mereka, mereka
hendak menakut-nakuti manusia agar menjauhi maksiat melalui
cerita-cerita tersebut. Kapankah para tukang kisah ini mengetahui hal
yang ghaib?!! Sehingga bisa menghubung-hubungkan bahwa kejadian itu
karena maksiat ini.” (Lam Ad-Dur Al-Mansur Min Al-Qaul Al Ma’tsur Fi Al
I’tiqad Wa As-Sunnah, karya Syekh Jamal bin Furaihan al-Haritsi hal
220-221)
Benarlah apa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan, “Orang
yang menyampaikan cerita / kisah itu hanya ada tiga jenis, penguasa,
orang yang mendapatkan perintah dari penguasa atau orang yang sombong.”
(HR Thabrani dalam Mu’jam Kabir 19/179 -180, Ibnu Adi 6/406 dan
lain-lain) Oleh karena itu Abdullah bin Umar mengatakan, “Di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak ada yang namanya kisah tidak pula di masa Abu Bakar tidak pula di
masa Umar dan Utsman. Kisah hanyalah sesuatu yang diada-adakan setelah
kemunculan berbagai bentuk bid’ah” (HR Ibnu Majah no 3754 dan lain-lain)
Berdasarkan penjelasan di atas maka tidaklah benar jika kisah semacam ini merupakan sebuah intisari ajaran Islam.
Artikel www.ustadzaris.com
No comments:
Post a Comment